Sabtu, 20 April 2013

psikologi agama dan cabang-cabang nya


A.    Psikologi Agama dan Cabang Psikologi
Para ilmuan barat menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuan (Jujun S. Suriasumanteri, 1990:22). Dengan demikian, psikologi termasuk ilmu dari cabang filsafat. Dalam kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi yang lainnya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat.
Sebaliknya jika psikologi dinilai sebagai disiplin ilmu yang otonom yang kemudian darinya berkembang berbagai disiplin ilmu cabangnya, maka psikologi agama dapat disebut sebagai cabang psikologi. Oleh karena itu, sebutan psikologi agama sebagai ilmu cabang dari psikologi agaknya dapat diterima. Sehubungan dengan hal itu, maka pemahaman psikologi agama dan cabang psikologi seperti yang dimaksut dengan pembahasan berikut adalah menurut pendekatan terakhir.
Psikologi secarah umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cogmisi), perasaan (emotion) dan kehendak (conasi) gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan prilaku manusia. Namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktifitas yang tampak itu merupakan gejala campuran sehingga para ahli psikilogi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejalah campuran seperti intelegensi, kelelahan maupun sugesti.
Setelah lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin ilmuyang otonom, pengembangannya tidak berhenti. Sebagai ilmu terapan, tampaknya psikologi berkaitan erat dengan kehidupan manusia secara pribadi maupun dengan lingkungan sosialnya. Kenyataan ini selanjutnya melahirkan cabang-cabang lagi menjadi psikologi keperibadian dan psikologi sosial.
Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan demikian, psikologi yang diakui sebagai disiplin yang mandiri sejak tahun 1879 ini ternyata telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecakan berbagai problema dan menguak misteri hidup manusia serta mengupayakan peningkatan sumber daya manusia (Djamaliddin Ancok, 1994:1).
Kajian-kajian yang khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikologi yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka peranan baru dalam kajian psikologi, psikologi agama. Pernyataan ini setidak-tidaknya menginformasikan, bahwa sebagai cabang psikologi, maka psikologi agama dianggap semakin penting dalam mengkaji tingkah laku agama.




D. Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendidikan islam disini diartikan sebagai upayah sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsidan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya agar mereka menjadi pengabdi Allah swt yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia (QS 51:52) dan juga dapat berperan sebagai khalifah Allah Swt dalam kehidupan di dunia (QS 2:30).
Pendidikan islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjurkan rasul Allah Saw. Inilah yang dimaksut dengan pendidikan islam dengan arti yang seutuhnya. Dalam hal ini, pendidikan islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi agama dan pendidikan islam diawal-awal perkembangan agama ini.
Pada suatu hari, rasul Allah saw. Didatangi dengan laki-laki yang masi awam tentang islam. Laki-laki tersebut menayakan tentang kewajiban islam yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw. Menjelaskan kelima prinsip (rukun) islam kepada laki-laki dimaksut. Setelah mendengar penjelasan itu, maka orang tadi menyatakan kepada Rasul:”Demi Allah, Aku ttidak akan menmbah atu mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menayakan, bahwa jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya adalah surga.  (H.R. Bukhari,19: ).
Kali yang lain, Rasul Allah Saw. Sedang menunaikan sholat. Saat beliau sujud, cucu beliau naik ke punggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah Saw. Memperlambat sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun. Rasul Allah Saw. Memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu beliau turun hingga tidak mencederakan mereka. (H.R. bhuhari).
Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. Sendiri, agar dalam memberikan pendidikan harus disesuikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang.  Fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan islam. Bahkan agama dan keyakinan seorang umat dinilai sangat tergantungdari keteladanan para orang tua mereka. Tidak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.
Pembentukan jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan. Kepadanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan adzan keteling kanannya dan Iqamat ketelinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaiknya) sang bayi di Aqiqahkan, dan sekaligus di beri nama yang baik, sebagai do’a dan titipan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang soleh. Disamping itu, kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada priode perkembangan selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan perbuatn yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.
Rasul Allah Saw. Tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan timbal balik antara jiwa (psycho) dengan tubuh (somah). Demikian pulah mengenai hubungan antara biokimia dengan jiwa dan  raga. Juga tentang pengaruh suara dengan pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam permulasi dan konsep ajaran yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada anak-anak mereka.
Anak di bimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sesuai dengan fitrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu, diealisasikan dalam bentuk perubahan dan aktifitas yang bermanfaat, sesuai dengan perintahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar